Monday, February 13, 2012

Alex Beding Tokoh Pers NTT

Intan Imamatnya jadi Mahkota Bagi Lembata

Pengantar Redaksi
Tahun 2011 yang baru lewat umat Katolik Lembata merayakan yubileum 125 tahun masuknya agama Katolik di pulau itu. Tahun yang sama tepatnya  tanggal 23 Oktober 2011, Lembata juga merayakan 60 tahun imamat Pater Alex Beding, SVD, imam sulung dari pulau tersebut. Mengenang pesta intan imamat Pater Alex, Penerbit Ledalero menerbitkan buku “Bersyukur dan Berharap” dengan editor Steph Tupeng Witin, SVD.  Dalam buku setebal 183 halaman tersebut, karya dan pengabdian Pater Alex Beding, SVD yang merayakan HUT ke-88 tanggal 23 Januari 2012 digelar elegan dan utuh.

Menyambut Hari Pers Nasional tanggal 9 Februari 2012, kami memandang perlu menukilkan sebagian isi buku tersebut untuk pembaca FloresStar. Alex Beding tidak sekadar imam Katolik yang setia melayani umatnya. Dia adalah tokoh perintis yang membudayakan tradisi membaca bagi masyarakat Flores-Lembata dan NTT umumnya lewat buku dan media massa. Dia merupakan tokoh peradaban daerah ini yang patut dikenang dan diteladani. 


LAMALERA 23 Oktober 2011. Deretan tena laja (bangsal-bangsal perahu)  di pinggir pantai Desa Lamalera mematung dalam hening. Anak-anak tanpa baju berkejaran di atas hamparan pasir. Tulang-tulang ikan paus tegak di beberapa sudut. Bau amis ikan menjadi ucapan selamat datang kepada siapa pun yang memasuki haribaan Desa Lamalera.

Steph Tupeng Witin, SVD melukiskan dengan indah ketika ia memulai tulisannya pada bagian pertama buku Bersyukur dan Berharap, Kenangan 60 Tahun Imamat P Alex Beding, SVD (Penerbit Ledalero, 2011 hal 13).  Memandang Lamalera berarti menyaksikan keajaiban hidup yang telah sekian abad bergulir di atas batu-batu karang yang menutupi sebagian besar badan Lamalera. Alam terkesan kikir dan miskin tetapi di sinilah kehidupan itu berdenyut dengan indah.

Hari itu, 23 Oktober 2012,
ombak pantai selatan yang terkenal garang menjelma menjadi sahabat yang tenang. “Laut selama beberapa hari ini tampak tenang. Teduh!   Biasanya berombak besar. Gelombang yang besar menghantam batu karang dengan garang,” kata Fransiskus Keraf, guru SMPK APPIS Lamalera seperti dikutip Steph. 

Alam seakan ikut tersenyum bersama umat Paroki St. Petrus Paulus Lamalera yang hari itu  berbahagia bersama Yubilaris Pater Alex Beding, SVD merayakan 60 tahun imamat (intan imamat).  Imam sulung dari Pulau Lembata itu merayakan kebahagiaannya dalam ekaristi kudus di gereja Paroki Lamalera didampingi Vikjen Keuskupan Larantuka, Romo Gabriel Unto da Silva, Pr dan Pater Paulus Boli Lamak, SVD bersama 13 imam konselebrantes lainnya pada hari Minggu yang cerah, 23 Oktober 2011.

Kebahagian intan imamat rasanya menjadi mahkota bagi seluruh Pulau Lembata karena Pater Alex adalah imam sulung Pulau Lembata. Dialah yang membuka pintu gerbang bagi perjalanan panggilan hidup membiara putra-putri Lembata hingga detik ini. Dia adalah buah sulung dari benih iman yang ditaburkan para misionaris di tanah Lembata dengan Lamalera sebagai pintu gerbangnya.

Pada bulan September 2011 umat Paroki Lamalera khususnya dan Lembata umumnya merayakan yubileum 125 tahun masuknya agama Katolik di Lembata. Selama rentang waktu 125 tahun  panggilan hidup membiara tumbuh subur.  Seperti ditulis Steph Tupeng Witin, di Paroki Lamalera saja, hingga kini tercatat sebanyak 37 pastor dari berbagai tarekat dan keuskupan di seluruh Indonesia, sebanyak 21 pastor itu berasal dari Desa Lamalera dan kurang lebih 133 biarawan-biarawati. 

Di Pulau Flores, Lembata, Adonara, Solor bahkan di seluruh wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) agaknya tidak ada satu desa pun yang subur menyamai Lamalera dalam hal benih panggilan menjadi pekerja di ladang Tuhan. Kampung Lamalera patut dicatat sebagai tonggak penting dalam sejarah Gereja Katolik di negeri ini.

Saat menyampaikan sambutan pada akhir ekaristi perayaan intan imamat, Pater Alex Beding, SVD menunjukkan kartu bahagia intan imamatnya yang mengutip kata-katanya “sangat indah melukiskan identintas setiap orang Lamalera”. Kartu hasil repro foto itu menggambarkan yubilaris  Pater Alex dengan pakaian lengkap misa berdiri di atas latar belakang Desa Lamalera. Pada stola tertulis “In Verbo Tuo”. Pater Alex seakan disanggah oleh deretan tena laja yang membujur dari timur hingga barat. 
Inilah gambaran aktivitas harian penduduk Lamalera. Tena laja menjadi bangsal bagi perahu-perahu yang saban hari memuat para pelaut kekar tanpa baju bertarung dengan ikan raksasa di Laut Sawu.  

Tampak di tengah deretan bangsal perahu itu Kapela Santo Petrus yang menjadi pusat kehidupan melaut nelayan Lamalera. Kapela itu menjadi pusat ekaristi kudus pada saat hendak memulai musim leva (melaut). Peralatan melaut selalu diberkati imam sebagai simbol penyertaan Tuhan dalam karya para pelaut tangguh Lamalera. Dan di belakang yubilaris tampak alam Lamalera yang kering dengan dedaunan pohon yang meranggas. 

“Gambar ini melukiskan identitas kita semua sebagai orang Lamalera. Di atas kenyataan inilah kita dilahirkan, hidup dan bertumbuh hingga saat ini.” Kata-kata tersebut diucapkan Pater Alex Beding dengan bibir gemetar. Orang Lamalera, sebagaimana dihadirkan melalui gambar itu seakan berada di antara laut yang menyediakan kehidupan dan darat yang menghadirkan kekuatan. 

Di laut mereka bertarung dengan ikan raksasa. Kadang dengan korban nyawa. Berbekal keberanian dan kenekatan. Di darat, meski tanah berada di selangkangan bebatuan besar dan kecil, masih dapat dimanfaatkan untuk menanam ubi dan jagung walaupun tidak menentu tumbuhnya. Lebih banyak gagal. Tapi di darat inilah para perempuan Lamalera setia  menjelajahi puluhan desa di pedalaman untuk membarter hasil bumi berupa jagung, padi, buah-buahan, sayur, ubi-ubian dan sebagainya dengan modal  ikan, garam dan kapur. Drama kehidupan ini telah berlangsung selama berabad-abad. Abadi hingga detik ini. Dan, tetap berlanjut hingga masa depan.

Steph Tupeng Witin lebih jauh melukiskan sebagai berikut. Kebahagiaan intan imamat Pater Alex menjadi mahkota iman seluruh umat. Tuhan seakan tengah berjalan melintasi deretan tena laja untuk melewati, menguatkan dan menyegarkan dahaga iman umat yang setiap saat direpresi oleh berbagai tantangan dan kesulitan. 

Tuhan itu telah setia bersama Pater Alex selama 60 tahun dengan menjaga dan merawat imamat dalam bejana tanah liat kemanusiaan. Selama 60 tahun, Pater Alex telah berpeluh, berkeringat seperti para nelayan Lamalera kekar yang dibakar keganasan terik matahari di tengah hamparan laut nan ganas. Tapi tetap setia berziarah seperti para perempuan Lamalera ber-penetang (berjalan ke pedalaman Lembata untuk membarter hasil bumi).

Dan hari itu, 23 Oktober 2011, kebahagiaan dan kegembiraan rasanya tidak tuntas dilukiskan dengan kata. Kebahagiaan dirayakan dengan sederhana tapi bermakna agung. Seperti kata pemazmur: bagai petani yang tersenyum bahagia kembali dari ladang dengan memikul berkas-berkas padi. Seperti kebahagiaan para prajurit yang kembali dari medan perang dengan membawa kemenangan. Kebahagiaan itu tetap terlukis di antara deretan tena laja yang akan mematung hingga kapan pun. 


Dia Menjala di Lautan Lain

ALAM yang garang tidak menyurutkan upaya penyebaran Injil Kristus di Lamalera. Inilah poin penting yang digarisbawahi P Steph Tupeng Witin, SVD dalam buku “Bersyukur dan Berharap, Kenangan 60 Tahun Imamat Alex Beding, SVD” (Penerbit Ledalero, 2011, halaman 18). Alam Lamaralera begitu kering dan gersang. Namun, kehidupan tak pernah memudar di sana. Justru di atas kenyataan seperti itulah harapan hidup diletakkan dan iman berkembang dengan subur.

Pater Alex Beding, SVD sendiri dalam buku “Bapa Bernhard Bode, SVD Pastor Pulau Lembata (Nusa Indah, 2010) menggambarkan Lamalera dan Lembata sebagai medan misi yang sulit. Pater Alex menulis, “...Tempat itu terpencil dan sangat sulit dicapai. Tantangan-tantangan bagi para misionaris Yesuit kini harus dihadapi juga oleh orang yang ditunjuk menjadi gembala yang menetap di Lembata. Untuk menjadi pastor tetap di sana dibutuhkan seorang yang mempunyai kondisi fisik kuat dan tangguh karena mesti hidup di daerah berbatu dan beriklim panas. Di mana tidak ada sumber air minum bersih. Makanan apa adanya saja. Segala yang perlu harus dibawa dari luar. Suatu daerah yang berat, harus ditempuh dengan berjalan kaki atau berkuda. Misionaris itu juga harus kuat mental-rohaninya sebab dia tinggal di tempat terpencil, komunikasi serba kurang dan sulit.” (67-68).

Dalam kesulitan yang luar biasa itulah para misionaris menjejakkan kakinya di atas Lembata. Awalnya, para misionaris Yesuit di Larantuka berkenalan dengan orang-orang Lamalera yang sering datang ke Larantuka untuk berbelanja. Ada hasrat membara untuk menghadirkan Injil Kristus ke tengah orang-orang ini. Beberapa anak dari Lamalera pun  didatangkan untuk menempuh pendidikan di Larantuka.

Moment bersejarah itu akhirnya tercatat tanggal 8 dan 9 Juni 1886 ketika dua iman Yesuit yakni Pater C.ten Brink dan Pater Y de Vries mempermandikan 215 anak. Inilah saatnya Gereja Katolik dengan resmi didirikan di Lembata.  Moment berahmat itu membuka pintu gerbang kedatangan Kristus dan Injilnya. Namun, kesulitan medan dan jarak tempuh yang jauh dari Larantuka dengan melewati Laut Sawu bergelombang besar menyebabkan pendampingan umat terkendala. Pendampingan Yesuit ditandai dengan berdirinya sekolah Katolik pertama di Lamalera tahun 1914.
Setelah itu karya misi beralih ke tangan SVD.  Maka pada tanggal 24 September 1920, dua peledang (perahu nelayan Lamalera) bertolak meninggalkan Larantuka menuju Lamalera. Salah seorang penumpangnya adalah Pater Bernhard Bode, SVD. Dialah pastor SVD pertama yang menetap di Lamalera. Bersama Pater Bode, ikut juga Bruder Fransiskus yang membawa sejumlah tukang untuk membangun gereja dan pastoran. Maka mulailah penjelajahan lekak-lekuk Pulau Lembata. Pater Bode bekerja dengan begitu banyak kesulitan. Namun, kekuatan Kristus menyanggupkan dia untuk bertahan di tengah kehidupan umat yang sederhana.

Menurut Steph Tupeng Witin, SVD di tengah konteks misi pertama di Lembata inilah Alex Beding memulai ziarah hidupnya. Alex lahir di Lamalera pada 13 Januari 1924 sebagai putra sulung dari sebelas bersaudara buah cinta pasangan Karolus Arkian Beding dan Anna Nogo Lamanudeg. Satu kembar pria sesudah Alex meninggal. Selain Pater Alex, masih ada Marcel Beding (22 November 1932, meninggal 24 Februari 1998). Marcel Beding dikenal sebagai salah seorang wartawan perintis Harian Kompas. Marcel mengabdi di Kompas hingga pensiun.

Saudara Pater Alex lainnya adalah  Fransiskus Meli Beding (lahir 2 Desember 1938, meninggal 10 Mei  1973), Yohanes Bosko Gesi Beding (27 Januari 1941). Tahbisan imam Pater Bosko Beding 29 Juni 1969. Pater Bosko yang juga dikenal sebagai wartawan itu meninggal dunia 16 Juli 1989. Saudari perempuan Pater Alex,  Suster Benedicta CIJ, lahir 5 Juni 1928, meninggal pada tanggal 20 Mei 2011 dalam usia ke-83. Lima puluh tahun lebih dalam Kaul Kebiaraan.

Karolus Arkian adalah seorang tukang kayu. Pada awal dia senang melaut. Kemudian ketika orang membangun Gereja Paroki Lamalera dia tertarik untuk memegang alat-alat tukang kayu dan mencoba sendiri. Alex Beding kecil menjalani pendidikan sekolah dasar selama dua tahun. Alex pun diminta ayahnya menjaga pledang (perahu tradisional nelayan Lamalera) dan jangan menjadi guru. “Nanti siapa yang jaga pledang untuk memberi rejeki kepada keluarga,” demikian Pater Alex Beding mengenang ucapan ayahnya. Tapi Alex sering pergi ke Pastoran Lamalera untuk membantu; sementara ia sendiri belajar untuk menulis, sampai bisa menulis surat sendiri. Bahasa Indonesia dia belajar dari orang-orang yang bergaul dengannya.

Karolus Arkian melalui  pekerjaannya sebagai tukang kayu dapat membuat meja, kursi, bangku untuk para guru. Kalau Alex Beding kecil hendak ke sekolah, Arkian selalu menyuruhnya untuk mengambil uang dari guru-guru langganannya. Karolus Arkian membantu Pater Bernhard Bode membangun kapela-kapela di stasi-stasi  seluruh Lembata bahkan sampai di Kedang. Dan, Karolus Arkian sangat senang serta menikmati pekerjaannya itu. Semuanya dilakukan dengan berjalan kaki. Dia juga menjadi anggota konfreria, termasuk angkatan pertama.

Dari keluarga sederhana inilah Alex Beding tumbuh dengan iman yang kokoh. Keluarga religius tapi tetap sederhana. Bekerja keras untuk hidup tapi tetap terbuka melayani gereja dan sesama. Dengan fasilitas yang minim bisa berbuat banyak untuk kebahagiaan banyak orang.

Seperti ditulis Steph Tupeng Witin, nilai-nilai hidup ini tumbuh dari kenyataan dan konteks Lamalera, sebuah desa nelayan miskin tapi kaya cahaya matahari. Maka dari Lamalera kemudian “cahaya” itu menerangi seluruh Lembata, bangsa ini bahkan dunia. Hal tersebut sejalan dengan arti harafiah dari Lamalera yaitu tempat cahaya matahari. (Lama: tempat, ruang, lapangan) dan Lera: matahari. Dari Lamalera beralas wadas, cahaya itu perlahan menerangi kehidupan.


Menjala di Lautan Lain


Alex Beding masuk sekolah dasar pada usia 6 tahun di Lamalera tahun 1933. Setelahnya ia melanjutkan pendidikan di Larantuka dan tinggal di asrama misi. Tamat dari Larantuka ia melanjutkan pendidikannya di Seminari Todabelu Mataloko, Ngada.

Terkait itu ia menulis sebagai berikut. “Saya tidak bisa mengatakan sesuatu sebagai alasan saya pergi ke seminari. Waktu kecil saya sering menyertai ayah dan ibu ke gereja dan sesudah misa ayah pergi omong-omong dengan Pater Bode. Saya senang dekat pastor yang saleh dan suka senyum itu. Entah dalam hati ayah ada suatu ‘kerinduan’ agar anaknya bisa menjadi seperti bapa pastor itu?  Sebab Pater Bode dalam doa-doa di gereja minta supaya Tuhan Allah memanggil anak-anak yang suci hati agar menjadi imam. Semua adalah ‘rahasia’ dalam karya Allah. Ternyata setelah tamat Vervolgschool di Larantuka, saya dan beberapa teman pergi ke seminari. Tempat sekolah semakin jauh. Saya belajar di seminari pendidikan imam di Mataloko di daerah Ngada. Bagi saya dari Lamalera sampai Mataloko adalah jarak yang jauh dan ditempuh dengan cara-cara transportasi sederhana yang berlaku di zaman itu, di antaranya banyak trayek ditempuh dengan berjalan kaki. Tapi sangat luar biasa karena semuanya penuh pengalaman yang menyenangkan, kendati juga penuh resiko. Untuk pertama kali saya ikut dalam rombongan 35 siswa asal Flores Timur yang diberangkatkan dengan motorboat kecil Arnoldus dari Larantuka sampai Ipi Ende selama satu hari dua malam.”.

Dari Mataloko ke Ende Membangun Nusa Indah

SETELAH menyesaikan studinya di Seminari Matoloko, Ngada, Alex Beding melanjutkan ke novisiat  Ledalero. Alex Beding melukiskan pengalamannya tersebut sangat menakjubkan karena berlangsung dalam suasana perang saat itu.

Berikut catatan Alex Beding seperti dikutip Steph Tupeng Witin, SVD dalam buku Bersyukur dan Berharap, Kenangan 60 Tahun Imamat Alex Beding, SVD (Ledalero 2011, hal 24).

“Pada tahun 1943, kami menjalani novisiat tahun pertama di Ledalero. Waktu itu dalam keadaan perang dan serdadu-serdadu Jepang menduduki juga seminari tinggi. Karena semua pater-profesor berkebangsaan Belanda diinternir, maka para frater mahasiswa filsafat dan teologi dipindahkan ke Mataloko. Di ‘Rumah Tinggi’ kuliah-kuliah dilanjutkan dengan bantuan para imam yang ada. Sementara itu kami sebagai novis masih bertahan di bawah pimpinan PJ Koemeester sebagai Magister, namun orang-orang Jepang melihat bahwa Ledalero mulai menjadi titik bahaya dari udara, maka kami diungsikan ke Lela. Tapi di sana juga kami tidak bertahan karena tidak aman, dan sekali lagi kami diungsikan ke Mataloko dan ditampung juga di ‘Rumah Tinggi’. Kami menyelesaikan masa novisiat di Mataloko dan mengikrarkan kaul-kaul pertama dalam gereja Paroki Mataloko pada 15 Agustus 1945, dua hari kemudian tibalah Hari Kemerdekaan Indonesia tetapi kami masih terus hidup dalam keadaan perang.”

Ketika keadaan berangsur membaik, Alex Beding muda bersama teman-temannya bisa mulai memasuki studi di Seminari Tinggi St Paulus Ledalero di Kabupaten Sikka. Akhirnya cita-cita mereka tercapai juga. Alex Beding bersama enam temannya ditahbiskan menjadi imam oleh Mgr. Antonius Thijjssen, SVD di dalam Gereja Paroki Nita, tidak seberapa jauh dari Seminari Tinggi Ledalero pada 24 Oktober tahun 1951.

Meskipun menjalani studi dalam suasana ‘tidak enak’ Alex Beding akhirnya menjadi imam sulung dari Pulau Lembata. Peristiwa tersebut merupakan warta gembira bagi seluruh umat Katolik di Lembata dan khususnya kampung Lamalera.

Pater Alex Beding merefleksikan seluruh ziarah menuju tangga imamatnya tersebut sebagai bukti kesetiaan Tuhan dalam hidupnya. “Melihat seluruh perkembangan studi menjadi imam dan keadaan perang yang mengakibatkan kesulitan dan hambatan, saya sangat bersyukur kepada Tuhan bahwa semuanya berlangsung relatif lancar dan yang terpenting kami mendapat kesempatan untuk belajar mengenai kesulitan-kesulitan yang nyata dalam perjalanan menjadi imam. Semuanya berguna dan semuanya ada arti.”

Pada tanggal 29 Juni 1952, Pater Alex bersama Pater Gregorius Monteiro, SVD (kemudian menjadi Uskup Agung Kupang) merayakan misa perdana mulia di Gereja Paroki St. Petrus dan St. Paulus Lamalera. Pater Gregorius Monteiro adalah keturunan Lamalera. Dalam acara-acara meriah yang dipimpin Pater Bruno Pehl, SVD, mereka mengalami kegembiraan umat yang pertama kali menyaksikan putra Lembata bertindak sebagai imam di altar Tuhan.

Selanjutnya Pater Alex memulai ziarah dalam karya pastoral sebagai imam. Yang istimewa adalah  Pater Alex Beding mendapat kesempatan untuk terus belajar pada dua universitas terkemuka di negeri ini yaitu Universitas Gajah Mada (UGM) di Yogyakarta dan Universitas Indonesia (UI) Jakarta.

Alex Beding  mengenang masa belajar di luar seminar itu sebagai proses pematangan diri terus-menerus. “Saya belajar selalu dalam lingkungan yang aman di seminari menengah dan seminari tinggi sampai menjadi imam, dan saya diberi kesempatan belajar juga pada Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, dilanjutkan di UI Jakarta dan tamat sebagai sarjana muda Bahasa dan Sastra Indonesia untuk segera ditugaskan sebagai guru Bahasa Indonesia pada seminari Menengah St Johanes Berchmans di Todabelu, Mataloko, Ngada.”

Ketika sedang studi di Jakarta, Pater Alex sempat diminta menjadi pastor tentara (TNI) untuk ikut dalam aksi militer ke Padang, Sumatera di bawah komando Letkol Ahmad Yani melawan Ahmad Husein, seorang jenderal pemberontak dan pemimpin PRRI pada pertengahan 1957. Ia menerima tugas itu demi cinta tanah air dan kepentingan nasional. Tapi tugasnya tidak berlangsung lama karena masih dalam masa studi.

“Ketika di Yogyakarta maupun di Jakarta di mana saya belajar, saya juga dilibatkan dalam karya pelayanan pastoral dalam kota dan juga di paroki-paroki diaspora. Di Jakarta saya menjadi anggota PMKRI dan sering mengikuti kegiatan yang berkaitan langsung dengan liturgi. Orang-orang Flores yang saya jumpai pada masa itu termasuk Drs. Frans Seda, Drs. Mang Reng Say, Centis da Costa, P. Adr, Conterius yang bertugas pada kantor Wali Gereja Indonesia memberi saya kesempatan untuk bertemu Presiden Soekarno pada perayaan nasional di Istana Merdeka. Para perayaan Misa 400 tahun St Ignatius de Loyola saya diundang untuk berkotbah di Gereja Katedral Jakarta dalam Bahasa Belanda. Dengan ketetapan Uskup Jakarta, saya menjadi anggota Yayasan Melani, Yayasan Papa-Miskin. Pada tahun 1955 di Jakarta, saya ikut dalam pemilu pertama di Indonesia,” kenangnya.

Setelah mengabdi sebagai pendidik di Seminari Mataloko, Pater Alex Beding beralih ke Ende tahun 1970. Beliau menulis dalam kenangannya, “Saya pindah ke Ende dan diminta untuk mulai membangun Penerbit Nusa Indah, Biro Naskah dan Toko Buku Nusa Indah. Dengan kegiatan itu saya belajar amat banyak dan saya mendapat dukungan yang kuat khusus dari Pater Heinz Neuhaus, Direktur Percetakan Arnoldus. Dalam kerja sama dengan rekan-rekan (Thom Wignyanta, Paceli Boleng, Ben Oleona, Chris Nau, Jack Blikololong, Albert Pantaleon, Sr  Regina, SSpS, Sr Ignacio  CIJ, Sr Emmanuel Gunanto OSU, gadis-gadis Monika Pemba, Ona Paty, Nela dll) yang tergabung dalam Biro Naskah dan pimpinan redaksi majalah-majalah. Kami menerbitkan banyak buku dan dua majalah yaitu Dua Mingguan DIAN dan majalah anak-anak KUNANG-KUNANG. Dua terbitan ini hidup sampai sempat saya merayakan pesta perak! Terima kasih bagi teman-teman dari staf Biro Naskah dan Dewan Redaksi DIAN yang setia dan penuh dedikasi dalam peranan mereka masing-masing. Terima kasih yang limpah bagi Sr. Emmanuel Gunanto OSU yang memimpin redaksi majalah anak-anak KUNANG-KUNANG dengan penuh cinta bersama para pembantunya.”

Menurutnya, dari kesan-kesan yang diperoleh, ia boleh bergembira bahwa Penerbit Nusa Indah dan karya pers melalui kedua majalah tersebut telah bekerja maksimal untuk misi Gereja dan SVD yakni mewartakan sabda Allah demi membangun umat dalam suatu masa baru dengan tantangan-tantangan baru.

“Terima kasih khusus kepada pimpinan SVD yakni Pater Provinsial dan pimpinan Gereja lokal Bapa Uskup yang memberikan restu dan dukungan kepada kegiatan kami. Terima kasih berlimpah kepada seluruh sidang pembaca dan pelanggan yang menaruh simpati dan menerima hasil pekerjaan kami,” demikian Pater Alex Beding.


 Membangun Nusa Indah dari Kantor Sederhana

SELAMA kurang lebih sebelas tahun (1959-1970) mengabdi di Seminari Menengah St Yohanes Berchmans di Todabelu, Mataloko Ngada, Pater Alexander Antonius Beding, SVD menempati sejumlah posisi penting di lembaga pendidikan calon imam tersebut. Alex Beding tercatat menjabat Direktur Studi Seminari Menengah (1961-1962), Rektor Seminari Mataloko (1962-1965) dan Prefek Seminari Menengah Mataloko/SMA Todabelu (1966-1970).

Selama di seminari ini, Alex Beding   menunjukkan kecintaannya yang mendalam terhadap  bahasa dan budaya. Seperti ditulis Steph Tupeng Witin, SVD dalam buku “Bersyukur dan Berharap, Kenangan 60 Tahun Imamat Alex Beding, SVD” (Ledalero 2011, hal 32), kecintaan pada bahasa dan budaya tersebut  menjadi basis bagi Alex Beding untuk terlibat dalam bidang pers dan perbukuan selama puluhan tahun.

Di Seminari Mataloko, Pater Alex mengorganisir kegiatan budaya seperti majalah Florete yang melatih  para siswa untuk mengorganisir pikiran dan gagasannya agar kelak berguna dalam karya pewartaaan sebagai imam. Ia juga merintis Akademi Sanctus Agustinus sebagai media untuk melatih para siswa seminari  tampil di depan umum mengemukakan gagasan dan pikiran secara baik dan benar.

Pater Alex mengenang semua itu lewat catatannya sebagai berikut. “Mereka (siswa seminari) belajar bersama mengorganisir acara-acara kesenian dan kebudayaan. Kami juga menggelar drama atau sandiwara antara lain Josef di Dothan, Saul dan David dan sandiwara humor seperti Sakit Khayal dan Moliere. Di kemudian hari sejumlah dari mereka terjun dalam kegiatan sebagai penulis, wartawan, sastrawan atau cendekiawan Katolik.”

Mungkin tanpa disadarinya, kecintaan pada bahasa dan budaya itu menjadi pertimbangan utama pimpinan SVD pada tahun 1970 memberikan tugas baru kepada Alex Beding yaitu meninggalkan Mataloko menuju Ende, kota pendidikan, kota bersejarah di Pulau Flores. Alex Beding tidak lagi menjadi pendidik bagi calon imam.Dia diutus menjadi pelayan di medan kehidupan yang lain.

Meskipun menggambarkan kepergiannya ke Ende itu sebagai bagian dari misi perutusan Serikat Sabda Allah (SVD), namun Pater Alex Beding mengakui pada awalnya dia tidak tahu apa yang harus dikerjakan di Ende. Ia menulis panjang mengenang moment tersebut.

“Studi saya pada Universitas Indonesia tidak jadi dilanjutkan. Saya melepaskan seminari dan pergi ke Ende dan belum tahu apa yang harus saya buat. Ternyata ada satu rencana dan ada satu orang yang langsung ‘menangkap’ saya ialah P Heinz Heuhaus, Direktur Percetakan Arnoldus Ende. Dia mulai membangkitkan bagi saya gagasan untuk mulai dengan penerbitan buku-buku.

Bruder Vitalis pada waktu itu menjalankan sebuah toko buku kecil bernama Nusa Indah yang menjual buku-buku yang dicetak pada Percetakan Arnoldus. Yang perlu saya buat adalah menyediakan naskah-naskah. Jadi kami mulai dengan sebuah kantor sederhana yang tidak lama kemudian menjadi Biro Naskah Nusa Indah. Di sinilah saya menyiapkan terbentuknya Penerbit Nusa Indah. Untuk itu saya mencari rekan-rekan. Thom Wigyanta, seorang eks frater, Paceli Boleng, Ansel da Iri, Albert Pantaleon sebagai pengetik, Eli Parera sebagai penggambar dan lain-lain.”

Pater Alex Beding, imam, biarawan dan misionaris penulis tersebut juga mengenang Nusa Indah sebagai penerbit yang membawa misi pewartaan Sabda Allah ke tengah masyarakat Flores dan Indonesia pada umumnya. Ini pun bagian dari misi Serikat Sabda Allah. Sejalan dengan spirit pendiri serikat misi Arnoldus Janssen tentang peran kerasulan lewat buku dan media massa.

“Kami menyusun mula-mula sebuah kerangka penerbitan SVD Nusa Indah yang misinya adalah ‘Mewartakan Sabda Allah’. Jadi pada tempat  pertama ialah Kitab Suci dan semua yang berkaitan dengan Kitab Suci. Selanjutnya teologi, katekese, kehidupan Kristiani dan bidang-bidang lain untuk pembangunan manusia. Lalu saya berkeliling mencari penulis-penulis dan menawarkan kesempatan menyediakan naskah yang kami terbitkan. Tanpa sadar kami telah mempunyai jaringan relasi yang cukup luas. Kami mendapat karya dari Pak Drs. Gorys Keraf, Tata Bahasa Indonesia yang dapat disebut sebagai buku tata bahasa terbaru, yang akhirnya amat laris dan menjadi buku pegangan pelajaran Bahasa Indonesia.

Kehidupan Gereja sudah mendapat angin baru dan segar dari Konsili Vatikan II. Adik saya Marcel Beding yang belajar pada Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta ambil bagian penting dalam pembentukan Penerbit Nusa Indah. Dia menerjemahkan banyak buku, misalnya Ensiklik-ensiklik yang kami terbitkan dan bersama dia kami menyusun buku-buku baru untuk kegiatan Gerejani. Kami harus membawa pembaharuan dalam sarana kehidupan Kristiani, yakni buku sembahyang yang baru: Bapa Kami, Tuhanlah Gembalaku dan juga buku nyanyian baru Syukur Kepada Bapa. Adik saya yang lain P Yoh Bosko Beding, SVD yang juga belajar publisistik bergabung dengan kami. Dia menghasilkan beberapa buku yang laris. Untuk pengembangan pertanian, kami terbitkan buku-buku tentang pertanian. Selain itu novel-novel, kamus-kamus mendapat tempat yang baik dalam penerbitan Nusa Indah.”

Pater Alex Beding mendirikan Penerbit Nusa Indah dan menjadi             direkturnya selama empat belas tahun (1970-1984). Pada masa kepemimpinannya, Penerbit Nusa Indah dikenal luas tidak hanya di Flores, Lembata dan Nusa Tenggara Timur tetapi seluruh Indonesia bahkan mancanegara. Nusa Indah kala itu merupakan satu-satunya penerbit terkemuka di kawasan Timur Indonesia atau di luar Pulau Jawa.

Kantor Penerbit Nusa Indah masih berdiri anggun di Jalan El Tari, Kota Ende. Penerbit yang dibangun Pater Alex Beding, SVD sejak 42 tahun lalu masih eksis sampai hari ini. Usia 42 tahun bukanlah sebuah masa waktu yang pendek dan untuk itu semua, kiranya sang peletak dasar Alex Beding, SVD pantas dikenang.

Melalui kehadiran Penerbit Nusa Indah pada tahun 1970, masyarakat NTT memasuki babak baru dalam peradabannya yaitu merajut tradisi membaca, menghasilkan karya-karya intelektual yang akan tetap awet hingga masa mendatang. Melalui Penerbit Nusa Indah, Flores, Lembata dan NTT bukanlah yang terkecil dan terkebelakang di antara gunung-gemunung Nusantara. Peran mencerdaskan bangsa sesuai amanat Undang Undang Dasar 1945 juga  bersinar dari Ende, dari Nusa Bunga.

Menyebut Penebit Nusa Indah tak akan sempurna tanpa menyinggung tentang Percetakan Arnoldus Ende. Percetakan itu sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945. Percetakan Arnoldus Ende berdiri pada tahun 1926 atau tiba belas tahun setelah Serikat Sabda Allah (SVD) mengambil alih misi untuk kepulauan Nusa Tenggara.

Dr. Paul Budi Kleden, SVD dalam buku Bersyukur dan Berharap, Kenangan 60 Tahun Imamat Alex Beding, SVD” menulis demikian. Tujuan utama didirikan percetakan tersebut adalah untuk mencetak buku-buku doa, katekismus dan buku-buku pelajaran. Salah satu terbitan perdana yang penting adalah katekismus dalam bahasa Sikka. Selanjutnya diterbitkan katekismus dalam banyak bahasa daerah di Flores. Langkah selanjutnya adalah penerbitan Kitab Suci, mula-mula dalam bahasa daerah kemudian dalam bahasa Indonesia sebagai proyek nasional (Ledalero 2011, hal 119).

Harian Kompas edisi 23 November 2006 menulis sebagai berikut. Pemrakarsa pendirian percetakan adalah Pater Petrus Noyen, SVD, yang merupakan prefek apostolik pertama di wilayah Nusa Tenggara. Pater Noyen kala itu didukung Pater Frans D Lange, SVD.  Arnoldus diambil dari nama St. Arnoldus Janssen, pendiri ordo SVD (Societas Verbi Divine). Arnoldus dijadikan sebagai pelindung percetakan ini. Cetakan pertama pada 21 Juni 1926 berupa buku doa yang disusun dalam bahasa Melayu. Buku itu berjudul Sende Aus yang artinya Utuslah.

Beroperasinya Percetakan Arnoldus pada waktu itu tak lepas dari bantuan Percetakan St. Mikael di Steyl, Belanda. Mesin cetak dari Steyl tiba di Pelabuhan Ende pada bulan April 1926. Satu bulan kemudian, dua pekerja yang bertugas sebagai tenaga pencetak di bawah pimpinan Bruder Viatori dari Shanghai tiba di Ende.  Percetakan tersebut merupakan unit perusahaan PT Arnoldus Nusa Indah (PT ANI) yang sampai sekarang tetap berkibar dengan segala tantangan dan tingkat kompetisi yang tidaklah ringan.

Terpikat Indahnya Cahaya Kunang-Kunang

TIGA Tahun setelah membangun Penerbit Nusa Indah tahun 1970, Pater Alex Beding, SVD merasa belum puas  karena buku pada masa itu belum menjadi kebutuhan masyarakat Flores dan Lembata. Harga buku pun relatif mahal sehingga tidak mudah dijangkau berbagai lapisan masyarakat.

Berdasarkan hasil diskusi dengan rekan-rekannya dan terutama mendapat persetujuan dari pimpinan SVD Regio Flores, Alex Beding merintis terbitnya media massa cetak yang akan memenuhi kebutuhan masyarakat umum. Tentang penerbitan pers ini Alex Beding menulis kenangan berikut sebagaimana dikutip Steph Tupeng Witin dalam buku “Bersyukur dan Berharap, Kenangan 60 Tahun Imamat Alex Beding, SVD” (Ledalero 2011, hal 35-36).

“Dengan buku kami belum melayani kebutuhan lebih banyak orang. Buku belum menjadi kebutuhan dan juga terlalu mahal. Maka saya mengajukan gagasan untuk penerbitan pers. Sudah lebih dari 10 tahun majalah Bentara berhenti. Kami mulai ramai berdiskusi dan memutuskan untuk menerbitkan majalah umum DIAN. Untuk majalah anak-anak KUNANG-KUNANG kami mendapat Sr. Emanuel Gunanto OSU yang dengan senang hati mau menjadi pemimpinnya. Suster Ema, begitu nama akrabnya, sangat berhasil bersama dengan pembantu-pembantunya.”

Dengan mottonya yang padat berisi Membangun Manusia Pembangun, majalah DIAN akhirnya terbit perdana di Ende pada tanggal 24 Oktober 1973. Hari itu bertepatan dengan Pater Alex Beding merayakan ulang tahun imamatnya yang ke-22. Tanggal lahir Majalah DIAN sama dengan tanggal Alex Beding ditahbiskan menjadi imam sulung asal Lembata di Gereja Paroki Nita, 24 Oktober 1951.

Tanggal kelahiran DIAN agaknya dengan sengaja dipilih sang pendiri agar mudah diingat. Tidak lama berselang Alex Beding dkk menghadirkan majalah bulanan KUNANG-KUNANG untuk anak-anak. “Syukur kepada Tuhan, kedua majalah ini hidup sampai merayakan pesta perak!” demikian Alex Beding dalam kenangannya.

Empat belas tahun setia mengunjungi pembaca di berbagai pelosok Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam bentuk majalah bulanan, pada tahun 1987 atau tiga tahun setelah Alex Beding melepas jabatan Pemimpin Umum DIAN dan KUNANG-KUNANG,  majalah DIAN berubah. DIAN menjadi Surat Kabar Mingguan DIAN. Saat Harian Flores Pos mulai diterbitkan pada tahun 1999, perlahan-lahan DIAN bergeser menjadi semacam edisi hari Minggu dari Harian Flores Pos. Dan pada tahun 2006, Mingguan DIAN tidak lagi mengunjungi pembacanya.

Selama 33 tahun keberadaannya, DIAN sungguh telah menjadi dian, lilin dan suluh bagi masyarakat Flobamora melalui karya jurnalistik para pengelolanya. Fakta ini tidak bisa dan tidak patut ditampik siapa pun. Bahkan amat  banyak putra-putri NTT yang terjun sebagai wartawan atau penulis di negeri ini, pertama kali mendapat ruang ekspresi dan ruang belajar menulis melalui Majalah/ Mingguan DIAN.

Nasib baik masih memihak warisan Alex Beding lainnya yaitu majalah KUNANG-KUNANG. Meski vakum beberapa saat, majalah anak-anak itu tetap terbit sampai saat ini dan tahun 2013 akan merayakan usia 40 tahun.
Mengenai nama majalah itu, Alex Beding menulis kenangan berikut. “Nama itu saya ambil dari nama seekor binatang. Pada malam hari kunang-kunang akan mengeluarkan cahaya yang sangat indah. Kunang-kunang biasa berkumpul di pohon tertentu dan serempak mengeluarkan cahaya sehingga dapat memberikan penerangan bagi tempat di sekitarnya. Banyak orang suka pada kunang-kunang karena cahayanya. Saya mengibaratkan ilmu pengetahuan seperti kunang-kunang. Ilmu pengetahuan merupakan cahaya yang memberikan pengetahuan kepada manusia, terutama anak-anak.

Ketika mendirikan majalah KUNANG-KUNANG pertama sekali saya ingin meningkatkan pengetahuan dan pendidikan untuk masyarakat. Saya ingin secara khusus bersahabat dengan anak-anak melalui majalah KUNANG-KUNANG. Anak-anak adalah masa depan bangsa. Saya juga ingin agar setelah membaca KUNANG-KUNANG anak-anak bisa menulis karangan, cerita, puisi, melukis, menyanyi, olahraga dan sebagainya.”  (Majalah KUNANG-KUNANG edisi Oktober No. 10 Tahun XXXVIII, 2011, hal 16).

Atas jasanya merintis penerbitan buku lewat Nusa Indah dan menghadirkan majalah DIAN dan KUNANG-KUNANG serta berbagai karya tulis baik dalam bentuk buku maupun artikel di media massa terbitan dalam dan luar negeri, maka pantaslah jika Alex Beding, SVD dikenang sebagai salah satu tokoh pers terkemuka di Propinsi NTT.

Organisasi profesi kewartawanan tertua di negeri ini yakni Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) tidak lupa memberi penghargaan terhadap salah seorang anggota seniornya itu. Pada peringatan Hari Pers Nasional (HPN) tingkat Propinsi NTT tahun 2009, PWI Cabang NTT memberikan piagam penghargaan untuk Alex Beding, SVD secara pribadi dan kepada Percetakan Arnoldus Nusa Indah Ende secara institusi.

“Award itu diberikan oleh Ketua PWI Cabang NTT, Dion DB Putra pada peringatan Hari Pers Nasional (HPN) ke-63 bertempat di Sekretariat PWI NTT di Kupang, Sabtu (28/2/2009),” demikian berita Harian Flores Pos edisi Senin, 2 Maret 2009 halaman 13. Karena Pater Alex berhalangan hadir, penghargaan tersebut diserahkan kepada wartawan Flores Pos di Kupang, Leo Ritan yang kemudian diteruskan kepada Pater Alex Beding dan pimpinan Percetakan Arnoldus Ende.

Atas usul PWI Cabang NTT juga pada tahun 2011 ketika NTT dipercaya sebagai tuan rumah Hari Pers Nasional (HPN) yang diikuti ribuan delegasi dari seluruh Indonesia termasuk Presiden Susilo Bambang Yuhdoyono, Alex Beding mendapat penghargaan dari Pemerintah Propinsi NTT berupa cincin emas kelas II.

Penghargaan tersebut diserahkan Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya pada acara jamuan makan malam dengan seluruh peserta HPN di Restoran Teluk Kupang, Selasa (8/2/2011). P Charles Beraf, SVD mewakili Pater Alex Beding menerima penghargaan tersebut.

Selain Pater Alex Beding, SVD,  Gubernur Lebu Raya juga menyerahkan penghargaan kepada sembilan wartawan lainnya yang berjasa bagi kemajuan daerah ini. Mereka adalah Valens Goa Doy (alm), Julius R Siyaramamual (alm),  Peter A Rohi, Aco Manafe, Gerson Poyk, Rikard Bagun, Laurens Tato, Frans Padak Demon dan Primus Dorimulu (Harian Pos Kupang, 9 Februari 2011 halaman 1).

“Pater Alex merima penghargaan ini, bukan hanya karena dia mulai mengelola DIAN pada tahun 1973, tetapi dan terlebih karena jiwa dan semangat kerja keras dan usaha kreatif dalam mengelola majalah pertama di NTT tersebut. Dia tidak sekadar memulai dan mempertahankan majalah dalam jangka waktu yang lama. Lebih dari itu, di tengah keterbatasan saat itu, dia berusaha keras dengan kreativitas, keyakinan dan cinta untuk menghadirkan kepada warga dan umat bahan bacaan bermutu.” Demikian catatan Dr. Paul Budi Kleden, SVD dalam buku “Bersyukur dan Berharap, Kenangan 60 Tahun Imamat Alex Beding, SVD” (Ledalero 2011, hal 101-102).

Menurut Paul Budi Kleden, Pater Alex mempunyai bakat dan perhatian besar terhadap kerasulan media massa. Bakat ini dikembangkan dan menemukan ekspresinya dalam berbagai bentuk, seperti majalah DIAN dan KUNANG-KUNANG serta berbagai buku yang ditulis atau diterjemahkannya. Usaha penerjemahan dan penerbitan ini masih terus dilanjutkannya dalam usianya yang mendekati angka 90 tahun (hal 102).

Pada bagian penutup catatannya  (hal 126-127),  Paul Budi Kleden menulis sebagai berikut. “Kontribusi besar Pater Alex untuk kerasulan media cetak bukanlah sebuah prestasi yang berdiri sendiri. Kesetiaan dan keuletan Pater Alex dalam membaca, menulis, menerjemahkan, mengedit dan menerbitkan bukanlah satu bentuk pekerjaan yang digeluti sekadar memenuhi hasrat pribadi dan mencari kepuasan sendiri. Tugas ini adalah panggilan dan misi yang berakar dalam tradisi Gereja dan menjadi satu medan karya khusus SVD sejak berdirinya.

Pater Alex telah melaksanakan dengan sungguh-sungguh visi Arnold Janssen, agar kerasulan media cetak memberikan kontribusi bagi perkembangan iman umat dan mempengaruhi opini publik melalui bacaan bermutu. Dengan kesungguhan kerja ini Pater Alex memberikan motivasi dan inspirasi bagi keterlibatan siapa saja dalam media cetak. Terima kasih Pater Alex untuk semangat yang tidak mengenal batas usia.” 



Masih Menulis Buku di Usia 88 Tahun

BIARA Santo Arnoldus Janssen (BSA) Larantuka terletak dekat Gereja Katedral di kota Reinha itu. Di depannya berdiri STMK Bina Karya Larantuka yang diasuh oleh Serikat Sabda Allah (SVD). Dari tempat ini siapa pun  dapat menikmati kesibukan Kota Larantuka.

Deru mesin kapal motor yang meninggalkan Pelabuhan Larantuka terdengar jelas. Di depan sana, Pulau Solor dan sebagian Adonara terlihat kokoh dipermainkan lautan biru nan tenang.

Di biara yang asri itulah Pater Alex Beding, SVD kini  menjalani hari-hari tuanya. Usianya genap 88 tahun pada tanggal 13 Januari 2012.  Ia masih setia membaca dan menulis. Refleksi-refleksinya senantiasa setia mengisi lembaran sejarah. Di antara deretan huruf-huruf ia meninggalkan pesan yang akan setia berbicara dalam konteks apapun. Bisa dinikmati dan memberi manfaat untuk generasi yang akan lahir kemudian.

Tentang aktivitas membaca dan menulis, Pater Alex melukiskan sebagai berikut seperti dikutip Steph Tupeng Witin, SVD dalam buku “Bersyukur dan Berharap, Kenangan 60 Tahun Imamat Alex Beding, SVD (Ledalero 2011, hal 30-32).

“Sejak kecil saya sudah berkenalan dengan membaca. Di rumah saya membaca Bintang Timoer yang Om saya dapat dari guru-guru. Waktu di sekolah Vervolgschool Larantuka saya pernah curi-curi baca novel  Saija dan Adinda dari rak buku bapa asrama P Thijssen. Di seminari Mataloko di kelas 1 pada waktu les bahasa Melayu, P Van Trier menyuruh saya ambil buku cerita dari biliknya, kemudian kami mendengarkan dia membaca dongeng-dongeng. Dalam pelajaran bahasa Belanda saya suka mendengar tentang sastra Belanda yang kaya dengan penulis-penulis besar. Yang bahasanya enak.

Waktu di seminari tinggi saya diajak P Boumans untuk membuat naskah buku lalu bersama Fr. Anton Sigoama kami menyusun buku kecil tentang Santa Maria dari Fatima. Sejak itu selain cinta saya bertumbuh terhadap Bunda Maria, saya senang kalau bisa menulis supaya dibaca orang lain.
Nah dengan tugas yang diberikan kepada saya untuk belajar bahasa di perguruan tinggi sebagai benuming saya setelah tamat di Ledalero, saya merasa bahwa pembesar saya ingin membantu saya di jalan di mana ada sedikit bakat ke arah itu. Terutama P Bouma yang memberi kepada frater-frater bimbingan dalam pengetahuan bahasa Indonesia, saya kira dia sebagai rektor punya suara yang mendukung penunjukan saya untuk studi bahasa, padahal saya sama sekali tidak memperhitungkan kemungkinan itu.”

Kebiasaan membaca dan menulis sejak bocah serta  pengetahuan bahasa yang mendalam baik bahasa Indonesia maupun sejumlah bahasa asing, merupakan salah satu kunci sukses Alex Beding sepanjang kariernya. Dia tidak hanya cakap dan piawai menulis, mengedit dan menerbitkan buku serta mengelola majalah DIAN dan KUNANG-KUNANG selama belasan tahun. Dia juga cerdas menerjemahkan buku dalam bahasa Inggris, Belanda dan Jerman ke dalam Bahasa Indonesia.

Kebiasan membaca dan menulis itu masih ditekuninya dengan serius pada usia sepuh sekarang.  Saat ditemui wartawati FloresStar, Syarifah Sifah di biara Arnoldus Janssen Larantuka, Senin (30/1/2012), Pater Alex Beding  tengah menggarap sebuah tulisan  di depan komputer dalam ruang kerjanya di biara itu. Ruang kerjanya apik dan lengkap dengan alat tulis-menulis, perpustakaan mini, koran-koran dan majalah dan sejumlah barang yang berkaitan dengan dunia kerjanya.

Pater Alex masih penuh semangat dan ramah sewaktu menerima kehadiran Syarifah. Pater Alex pun langsung berbagi cerita. Mengisahkan ziarah kehidupannya sejak seminari terus kuliah di UGM Yogyakarta dan pindah ke UI Jakarta namun belum selesai studi sudah dipanggil untuk mengajar di Seminari Mataloko, Ngada. Setelah mengabdi di Mataloko sekitar 11 tahun dia pindah ke Ende tahun 1970 dan mendirikan Penerbit Nusa Indah serta melahirkan Majalah DIAN dan KUNANG-KUANG. Setelah 15 tahun di Ende pada tahun 1985, Pater Alex  pindah ke Larantuka tahun untuk mengurus sekolah.

“Dan, baru dua tahun saya mengajar di SD saya dapat tugas baru dari pemimpin saya di Roma untuk menerjemahkan dokumen  dari bahasa Jerman, Belanda dan Inggris. Itu memang keahlian saya,” katanya.

Pada usia 88 tahun, secara fisik Pater Alex Beding  masih sehat. Ia mengucapkan puji syukur kepada Tuhan yang telah memberinya umur panjang dengan tubuh dan jiwa yang tetap sehat. “Saya ucapkan puji syukur kepada Tuhan yang memberi saya kesehatan di akhir umur saya. Walau umur sudah 88 tahun satu bulan tapi saya tetap sehat. Sakit-sakit ringan itu biasa dan cepat sembuh,” ujarnya.

Pater Alex Beding kini sedang mempersiapkan sebuah buku yang akan terbit dalam waktu dekat. Buku tersebut berisi sejarah perjuangan dua imam dan uskup pasa masa sebelum Indonesia merdeka. “Puji Tuhan buku yang saya tulis ini walaupun tidak seperti buku besar,  namun saya berharap bisa menjadi kenang-kenangan buat kita semua. Saat ini sudah sampai di pertengahan,” kata Pater Alex yang belum memberi judul buku tersebut.

Menurut Pater Steph Tupeng Witin, SVD, Pater Alex juga sedang menerjemahkan dokumen dari Bahasa Belanda dan Jerman sebagai bahan untuk penulisan buku tentang para misionaris yang berkarya di Pulau Lembata. Kemampuan bahasa asing dalam dirinya tidak meluntur sedikit pun sampai usia hampir 90 tahun. Suatu anugerah yang luar biasa untuk tokoh pers NTT ini. Tokoh peradaban Flobamora.

Sejarah telah mencatat kiprah  Pater Alex Beding dalam dunia intelektual di Nusa Tenggara Timur (NTT). Kita dapat membaca itu pada buku-buku karya tangannya maupun terjemahan. Sebanyak kurang lebih 37 buku dan banyak artikel yang tersebar di berbagai majalah dalam dan luar negeri menggambarkan kekuatan dahsyat dari karya tulisnya.

Berbagai penghargaan, baik dari kalangan Gereja maupun pemerintah mencerminkan penghormatan atas karya intelektual yang menerangi peradaban masyarakat di mana saja karya-karya itu berbicara. Di bumi Flores dan Lembata, tanah Flobamora maupun di berbagai belahan dunia lainnya.

Maka sudah layak dan sepantasnyalah bila kita mengucapkan selamat berbahagia dan terima kasih untuk semua jasa dan pengorbanan Pater Alex Beding, SVD. Intan imamat adalah kebahagiaan seluruh umat yang mengalaminya dalam hidup dan karya Pater Alex. Sejak dari tena laja Lamalera  hingga kini di biara Arnoldus Janssen Larantuka.  (dion db putra/habis)


Sumber: http://kupang.tribunnews.com
dimuat pada:    


Jumat, 27 Januari 2012 sampai kamis, 2 Februari2012




Editor : Kenarisa »» Penulis : »» Sumber : Harian FloresStar

1 comment:

  1. saya bersyukur, saya banyak mendapat ilmu dari buku2 terbitan NUSA INDAH, terutama buku-buku lama.

    ReplyDelete

LAGU INDO-BARAT

1. Bad Man